Jumat, 15 November 2013

Persaingan Layanan pada Bisnis Instant Messenger

Layanan instant messenger sedang marak belakangan ini. Banyak user mengunduhnya, bahkan menempati posisi atas dalam daftar unduhan terbanyak di toko aplikasi seperti Google Play. Sebut saja Line, Kakao Talk, WeChat dan WhatsApp. Keempat layanan messenger tersebut terindikasi sedang populer di mata penggunanya. Sebenarnya, siapa yang menciptakan keempat layanan messaging itu? Berikut kisah kelahirannya yang disaringkan dari berbagai sumber. Lalu bagaimana perkembangan dan upaya para pemain instant messanger dalam merebut hati konsumen di Indonesia?


Sejarah
1. Line


Line adalah aplikasi messaging yang dibuat oleh perusahaan NHN Corporation asal Korea Selatan. NHN Corporation juga mengoperasikan Naver, mesin cari online terbesar di Korea Selatan. Line diluncurkan pada 23 Juni 2011 oleh NHN cabang Jepang setelah terjadinya gempa bumi di Jepang. NHN Jepang menyadari kerusakan besar di sistem komunikasi dan menemukan bahwa layanan data akan bekerja lebih efisien.  Maka mereka memutuskan membuat aplikasi yang bisa diakses melalui smartphone, tablet dan desktop untuk melakukan instant messaging secara gratis. Lalu darimana asal nama Line? Nama ini terispirasi dari antrean banyak orang di telepon publik setelah gempa terjadi. Tak dinyana, Line sangat diminati dan berkembang pesar. Bahkan pada Oktober 2011, layanan ini sempat mengalami overload dan terganggu karena banyaknya pengguna.
Line awalnya didesain untuk Android dan iOS, kemudian berekspansi ke Windows Phone dan komputer desktop. Versi untuk BlackBerry dirilis pada Oktober 2012 dan untuk Nokia Asha pada akhir Maret 2013. Pada bulan November 2012, pengguna Line sudah mencapai 74 juta di seluruh dunia. Dan pada 2 Mei 2013, penggunanya menembus angka 150 juta. Line memang giat berekspansi di berbagai negara. Salah satu cara mereka mendulang uang adalah dengan menjual stiker virtual, yang bisa dikirimkan saat chatting. Pasar terbesar Line adalah di negara-negara Asia termasuk Indonesia. Di Jepang saja, penggunanya lebih dari 40 juta. Namun kini, mereka akan berkespansi serius ke wilaya lain seperti Amerika Serikat di mana mereka mendirikan kantor. ”Kantor di Amerika Serikat ini juga akan mengendalikan operasional di Amerika Latin dan negara Eropa,” kata Jeanie Han, CEO Line Amarika Serikat.
2. Kakao Talk
Kakao Talk dirilis pada 18 Maret 2010 oleh Kakao Corp, perusahaan asal Korea Selatan. Pendirinya, Beom Soo Kim adalah mantan CEO NHN Corporation. Kakao Talk berbasis di Seoul. Saat ini, layanan tersebut bisa dipakai di platform iOS, Android dan Windows Phone. Pada bulan Maret 2013, jumlah penggunanya sudah menembus 88 juta. Kakao Talk kemudian berekspansi secara global. Pada Juli 2011, Kakao Corp mendirikan cabang di Jepang yang dinamakan Kakao Japan. Kakao Talk pun menuai popularitas di Negara Sakura. Terutama saat musibah gempa terjadi, Kakao Talk menjadi salah satu layanan favorit untuk berkomunikasi.
Kakao Talk terus mengepakkan sayap bisnisnya di mancanegara, antara lain dengan menerjemahkan layanannya ke berbagai bahasa. Termasuk bahasa Jerman, Portugis, sampai Spanyol. Di Indonesia dan Vietnam misalnya, Kakao Talk gencar beriklan bersama para artis terkenal. Untuk menghasilkan uang Kakao Talk melakukan berbagai cara. Misalnya dengan menjual item digital seperti emoticon. Juga bekerjasama dengan beberapa artis dalam penjualan tersebut. Metodenya, artis atau brand bisa bekerja sama dengan Kakao untuk menciptakan emoticon dan dijual pada fans. Kemudian profit yang dihasilkan akan dibagi menutut kesepakatan.
3. WhatsApp
WhatsApp Inc didirikan pada tahun 2009 oleh dua orang pria bernama Brian Acton dan Jan Koum. Keduanya adalah mantan pekerja senior di raksasa online Yahoo. Keduanya sudah bekerja di Yahoo dalam waktu sekitar 20 tahun. Jan Koum yang awalnya punya ide menciptakan sebuah aplikasi yang bisa mem-broadcast status ketika seseorang tidak dapat dihubungi karena alasan tertentu. Koum pun mengajak Acton untuk bekerja sama dengannya. Jadilah kemudian mereka menciptakan perusahaan start up teknologi bernama WhatsApp Inc yang berlokasi di Santa Clara, California. Namun aplikasi broadcast status tersebut hanya menarik perhatian sedikit orang. Barulah ketika mereka mennambahkan fungsi messaging pada paruh kedua 2009, WhatsApp pun meledak. WhatsApp Inc kabarnya hanya mempekerjakan sekitar 20 orang. Di mana sebagian besar di antaranya adalah teknisi.
Data terbaru pada bulan Agustus 2012, WhatsApp mengirimkan 10 miliar pesan per hari dari penggunanya di seluruh dunia. Padahal bulan April 2012, ‘baru’ 2 miliar pesan dikirimkan. WhatsApp tersedia untuk semua sistem operasi mobile yang masih eksis. Dari iOS, Android, BlackBerry OS, BlackBery 10, Nokia Symbian, Nokia Series 40 dan juga Windows Phone. WhatsApp sejatinya tidak sepenuhnya gratis. Aplikasi WhatsApp di iPhone bisa digunakan cuma-cuma selama setahun, kemudian diwajibkan membayar. Demikian juga di platform lainnya. Pihak WhatsApp menyatakan pihaknya memang sengaja menarik ongkos dengan imbalan sebuah produk yang bisa diandalkan dan tanpa iklan. Sejak awal, aplikasi ini sudah dirancang berbayar sehingga tim WhatsApp bisa fokus mengembangkan produk. ”Kami ingin menghabiskan waktu membuat layanan yang ingin digunakan orang karena bekerja dengan baik dan membuat hidup mereka lebih baik. Kami tahu bisa menarik bayaran jika melakukan itu,” kata Jan Koum.
4. WeChat
Layanan messaging WeChat dikembangkan oleh Tencent Holding, perusahaan TI raksasa asal China. Proyek WeChat dimulai pada Oktober 2010 di Tencent Guangzhou Research and Project Center. Nama awalnya adalah Weixin yang diusulkan oleh Ma Huateng, CEO Tencent. Pada April 2011, Weixin diubah namanya menjadi WeChat karena akan diekspansi secara internasional. Pada Mei 2011, jumlah pengguna WeChat sekitar 5 juta user. Pada akhir 2011, sudah mencapai 50 juta user. Dan menembus angka 100 juta user pada Maret 2012. WeChat tersedia untuk Android, iPhone, BlackBerry, Windows Phone dan Symbian. Dan mendukung berbagai bahasa termasuk Spanyol, Portugis, Indonesia sampai Thailand.
Di tengah popularitasnya yang sedang menanjak, WeChat diisukan bakal dibuat menjadi layanan berbayar. Jelas saja, hal ini disayangkan pengguna. Namun bos WeChat cepat-cepat menampik isu tersebut. Dalam pernyataannya seperti dilansir Xinhua, Liu Chiping selaku President Tencent — induk usaha WeChat — menegaskan bahwa WeChat akan tetap gratis. Pernyataan ini sekaligus membantah kabar yang dilontarkan Menteri Industri dan Teknologi Informasi China, Miao Wei, yang menyatakan jika operator telekomunikasi tengah mempertimbangkan untuk menetapkan biaya penggunaan layanan WeChat. Sejak diluncurkan dua tahun yang lalu oleh Tencent, raksasa internet asal China, pengguna WeChat telah menembus 300 juta secara global, termasuk di Indonesia.

Perkembangan dan Persaingan
April kemarin merupakan minggu yang sibuk, 3 aplikasi messaging mengadakan acara sekaligus di minggu yang sama. Aplikasi-aplikasi tersebut adalah KakaoTalk, Line dan juga WeChat yang kesemuanya merupakan aplikasi pengirim pesan yang dikembangkan di negara maju di Asia. KakaoTalk merupakan aplikasi messaging paling populer di Korea Selatan (88% market share), Line yang besar di Jepang (44% market share) dan WeChat memiliki basis pengguna cukup besar di China.

Beberapa pemain di segmen ini seperti WhatsApp cenderung lebih santai dan tidak se-agresif pesaingnya dari Asia, mungkin karena saat ini bisa dibilang WhatsApp merupakan pemain utama selain BlackBerry Messenger di kota-kota besar di Indonesia. Beberapa perusahaan seperti Samsung, Nokia, Facebook, Microsoft juga sudah memiliki produk messagingnya sendiri, semuanya berpegangan pada fakta bahwa masyarakat Indonesia suka chatting terutama lewat mobile.

Namun faktanya adalah, dari para pemain di segmen ini kemungkinan besar hanya satu-dua yang akan survive dengan market share signifikan di Indonesia. Lalu, pertanyaan besarnya adalah: bagaimana caranya agar para pemain di bidang ini mampu menggaet market share di Indonesia?
“Kecepatan aplikasi dan kehandalah pengiriman pesan”, kata Aria Rajasa (Tees Indonesia) dan Api Perdana (NgaturDuit) ketika ditanyakan mengenai persaingan ini. Memang aplikasi-aplikasi ini dibuat sesuai dengan standard kecepatan internet dari negaranya masing-masing, yang ketika diaplikasikan di Indonesia menjadi kurang efektif. Beberapa aplikasi ini cenderung rakus bandwidth dengan emoticon dan fitur-fitur lain yang harus terkoneksi dengan internet, hal ini menyebabkan bottleneck akses data dan aplikasi-pun menjadi lambat.
Agus Mulyono, founder Kartunama.net, memiliki pandangan yang berbeda. Menurut Agus, para pemain di segmen ini harus mengusahakan agar aplikasinya tersedia di semua platform yang ada, mulai dari high-end sampai ke low-end. “Langkah selanjutnya: bekerjasama dengan produsen smartphone dan pastikan aplikasi di-preload ke handset. Pendapat lain datang dari Dondy Bappedyanto (Infinys System Indonesia), “target pasar yang menggunakan handphone murah, fokus ke low-end”. Dondy berpendapat bahwa pemain di pasar ini cenderung belum banyak, tidak lupa juga karena skala pasar yang lebih besar dibandingkan high-end.
Selain kecepatan aplikasi secara teknis, speed-to-market juga sangat berperan di tengah persaingan yang secepat ini. Kemungkinan lebih besar untuk bisa memenangkan pasar jika pemain tersebut masuk terlebih dahulu ketimbang pesaingnya, tentu saja dengan menimbang faktor kenyamanan produk terlebih dahulu. Persaingan seperti ini mirip seperti persaingan di industri telekomunikasi, dimana semuanya bergerak sangat cepat agar terlebih dahulu keluar dengan produk yang inovatif dibandingkan pesaingnya.

Ada satu hal lagi yang menurut saya sangat penting bagi para pemain aplikasi messaging untuk memenangkan persaingan: Partnership. Menjalin kerjasama dengan penyedia konten dan distribusi sepertinya krusial di tahap ini terutama bagi pemain aplikasi messaging yang kesemuanya berasal dari luar Indonesia. Penyedia konten, komunitas, perusahaan telko, produsen handphone, merupakan perusahaan yang harus didekati oleh para pemain ini untuk memulai ekspansi ke pasar Indonesia. Namun tidak berhenti sampai disitu dan tidak sembarangan, kerjasama dengan perusahaan yang salah juga bisa berakhir dengan tidak tercapainya target.
Yang pasti, tahun ini merupakan tahun yang exciting sekaligus keras untuk para pemain aplikasi messaging KakaoTalk, Line, WeChat dan WhatsApp. Yang mana yang akan menang? Waktu yang akan membuktikan.

Instant Messanger Made in Indonesia
Sebenarnya instant messanger lokal buatan anak bangsa sudah ada di Android Market, yaitu Catfiz.

Banyaknya layanan instant messaging yang tersedia bisa menjadi pilihan. Mulai layanan lintasplatform seperti Yahoo! Messenger, Google Talk, atau Whatsapp, hingga yang eksklusif satu platform seperti Blackberry Messenger atau kerap disingkat BBM.
Satu pengembang dari Indonesia, tepatnya Surabaya, berupaya untuk memperkenalkan aplikasi messaging yang didesain khusus untuk ponsel Android yakni Catfiz. Sejak diperkenalkan 28 Oktober 2011, aplikasi ini mengambil pola yang tidak lazim untuk memasyarakatkan produknya. Salah satunya, memilih untuk tidak menggunakan Android Market untuk lokasi pengunduhan tapi di website pribadinya.

Salah satu pendiri Catfiz Development Team, Aryo Nugroho, mengungkapkan bahwa aplikasi ini sengaja dipasarkan dengan mulut ke mulut. Memasyarakatkan sebuah aplikasi menggunakan jejaring sosial lain lain seperti Facebook, Twitter, maupun forum Kaskus dianggap Aryo lebih efektif.
Pasalnya, dia meyakini bahwa pasar Android di Indonesia sangatlah besar dengan penyerapan produk yang tinggi serta demografi masyarakat yang didominasi usia produktif.
Fitur yang diperkenalkan dalam Catfiz adalah diskusi dalam grup-grup yang bisa dibuat sendiri. Selain itu, pengguna Android memiliki kode identifikasi khusus yakni NIC. Namun, tidak seperti PIN dalam BB, pengguna Catfiz bisa memohon untuk mengganti NIC mereka dengan kode yang lebih mudah dihafal dan diingat. Dengan kata lain, memesan “kode cantik”.

Meski tidak lazim, sejak diperkenalkan hingga kini, Catfiz sudah diunduh hampir 70.000 pengguna. Aryo mengklaim bahwa penggunanya berasal tidak hanya dari Pulau Jawa saja. Bahkan, beberapa saat sebelumnya ada pula pengguna dari Saudi Arabia yang ikut mengunduh dan bergabung dalam percakapan.
Hingga kini, Catfiz masih berstatus beta alias belum full version. Aryo mengatakan bahwa aplikasi tersebut masih rutin diperbaharui dan direncanakan untuk rilis pada tahun mendatang meski belum menyebut tanggal spesifik.
Dia menjanjikan bahwa aplikasi ini bakal selamanya gratis alias pengguna tidak perlu mengeluarkan uang untuk mengunduhnya, meski dia mengungkapkan bahwa aplikasi ini bisa digunakan untuk kegiatan ekonomi seperti konten premium pada versi mendatang.
Bila dilafalkan, Catfiz terdengar seperti ‘catfish’, atau ‘lele’ dalam bahasa Inggris. Hal itu juga diakui oleh Aryo sebagai falsafah aplikasi itu. Lele, ujar Aryo, adalah binatang yang gampang dikembangbiakkan serta mudah beradaptasi di semua tempat di Indonesia. Harapannya, aplikasi tersebut bisa mempersatukan para pengguna ponsel Android di Indonesia.

sumber:disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar